Jika kita
menghayati firman Allah Swt dalam Q.S. Ibrahim Ayat 7 yang artinya: “
sesungguhnya jika kamu bersyukur
pasti Kami akan menambah ( ni’mat ) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
Ayat tersebut berisi anjuran dari Allah
Swt. kepada umat manusia untuk mensyukuri
ni’mat berupa apa saja yang telah diberikan kepada manusia, dan juga
berisi ancaman terhadap umat manusia yang tidak mau mensyukuri ni’mat-Nya. Pada
umumnya kebanyakan manusia memaknai bersyukur adalah mengucap “ alhamdulillah
“ dan atau mereka mengadakan acara
kumpul-kumpul dengan mengumpulkan teman dan kerabat untuk mengadakan makan-
makan di rumah, sebagai wujud dari kesyukuran mereka. Apakah yang demikian ini
sesungguhnya bersyukur itu ? Padahal sesungguhnya bersyukur itu adalah, menggunakan
ni’mat yang kita terima dari Sang Pemberi
( Allah Swt.) untuk kepentingan ta’at kepadanya, baik taat itu secara
langsung, maupun tidak langsung. Taat langsung
adalah beribadah langsung kepadanya sementara yang tidak langsung adalah adalah menggunakannya untuk melaksanakan amal
kebaikan yang manfaatnya kembali untuk
kepentingan orang banyak.
Lalu pertanyaannya sekarang, sudahkah kita melakukan hal itu ?, dan
sudahkah kita mensyukuri ni’mat yang diberikan kepada kita ?. Semuanya
tentunya kembali kepada diri kita
masing- masing. Apabila kita mensyukuri kesehatan yang telah Allah berikan kepada kita , tentunya dalam
keadaan yang sehat ini kita gunakan untuk berbuat baik ( dalam artian sesuatu yang baik yang menurut ukuran agama dan tidak diharamkan ) untuk
kepentingan keluarga, dan masyarakat sekitar kita dalam rangka menyongsong hari
esok yang lebih baik , karena berusaha untuk mewujudkan hari esok yang lebih
baik adalah sebuah sunnah yang memang diperintahkan oleh agama : “wal tanzhur
nafsun ma qaddamat lighadin “, dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok / al Hasyr 18. Dengan demikian kita menghadapi masa depan
ini penuh dengan optimisme, karena kita yakin akan selalu mendapat pertolongan
dari yang Maha Kuasa.
Syukur terhadap harta benda/ kekayaan
yang telah diberikan kepada kita adalah menggunakannya untuk kepentingan
kebaikan, bukan untuk berfoya- foya yang justru
jatuh kepada perbuatan yang
diharamkan agama dan melanggar norma-norma susila seperti yang sekarang ini
banyak kita temui di kalangan masyarakat
kita . Lebih dari itu menyisihkan sebagian rizqi yang diterima untuk
kepentingan yang lebih baik dengan jalan diinfaqkan / dizakatkan , adalah
sesuatu yang amat terpuji karena akan menjadikan kehidupan kita lebih baik dan
tenang karena kedua hal tersebut akan
memberesihkan harta dan diri kita , disamping akan memberikan ketenangan dalam kehidupan
kita, khuz min amwalihim shadaqatan tuthahhiruhum watuzakkihim biha washaali
‘alaihim inna shalaataka sakanun lahum :
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mencsucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu itu (
menjadi ) ketenteraman jiwa
bagi mereka (Q.S. al- Taubat :103). Syukur terhadap jabatan yang kita
dapat/ kita terima dengan menggunakan untuk membangun dan menata sesuatu yang
menjadi tanggung jawab kita menuju sesuatu yang lebih baik, bukan justru
menggunakan untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri. Sebab kalau hal ini
terjadi bukan kebaikan dan ketenangan
yang kita dapat, tetapi justru kegersangan hidup yang akan kita terima.
Tiga hal di atas adalah gambaran bagaimana kita mensyukuri nikmat yang kita terima dengan benar. Selama ini kita masih terus merasakan apapun yang kita terima masih terasa kurang, apakah itu berupa kesehatan, harta benda, jabatan/ pangkat dan yang lain, apakah memang betul- betul kurang, apakah karena ukuran yang kita pakai yang kurang pas, apakah memang kita termasuk golongan orang- orang yang tidak mau bersyukur, dan masih banyak lagi pertanyaan- pertanyaan yang kita tanyakan terhadap diri kita. Ketidak mampuan kita untuk bersyukur akan menyebabkan diri kita
merasa miskin. Perasaan miskin
itu pada hakekatnya sudah merupakan siksaan terhadap kita , karena sesungguhnya
merasa diri miskin sama dengan merasa diri kita tidak mempunyai kemampuan apa-apa,
yang pada akhirnya kita akan kehilangan
harga diri. Bukankah Rasulullah saw telah bersabda : Kaada al faqru an
yakuuna kufron ; Kefaqiran itu akan membawa seseorang menuju kekufuran.
Kalau perasaan kekurangan / kefakiran
itu telah melanda semua dari kita, tentu harga diri kita sebagai sebuah
kelompok bangsa ini akan hilang, tentunya rasa nasionalisme kitapun akan hilang
pula. Hal ini adalah merupakan sebuah siksaan bagi kita bukan hanya sebagai
pribadi- pribadi tetapi juga sebagai sebuah kelompok bangsa
Siksaan merasa diri kita miskin
adalah merupakan siksa awal yang tentu akan terus berlanjut dengan yang
lainnya. Pertanyaannya, maukah kita akan selalu menerima azab dari Allah karena perbuatan kita ?
Karena itu marilah jadikan diri kita
menjadi hamba- hamba yang mampu dan mau mensyukuri nikmat yang telah diberikan
kepada kita, dengan demikian kita sudah
termasuk golongan orang yang menjauhkan diri dari siksaan dan azab Allah SWT. lalu bersama- sama beristighfar, memohon
ampunan Allah atas segala kesalahan dan
kekhilafan kita selama ini dan memohon petunjuk-Nya, Amin .
* (Kepala MTs. NW Samawa dan Dosen STAI NW
Samawa Sumbawa Besar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar